KESEHATAN
MENTAL (Tulisan 3)
Penyesuaian
diri kesehatan mental
Penyesuaian diri merupakan proses
yang berlangsung sepanjang hayat. Dengan demikian penyesuaian diri yang efektif
dapat diukur dari seberapa baik individu dalam menghadapi dan mengatasi kondisi
yang senantiasa berubah.
Menurut
kartono (2000), penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai harmoni
pada diri sendiri dan lingkungannya, sehingga rasa permusuhan, kemarahan,
depresi dan emosi negative lain sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan
kurang efisien bisa dikikis. Penyesuaian diri juga dapat diartikan sebagai
penguasaan yaitu, memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisir
respon-respon sedemikian rupa sehingga dapat menanggapi segala macam konflik,
kesulitan masalah hidup dan frustasi-frustasi dengan cara efisien.
Haber dan Runyon (1984), mengusulkan
beberapa karakteristik penyesuaian diri yang efektif:
- Persepsi yang tepat terhadap
realita: mampu mengenali konsekuensi dari tindakan dan mengarahkan
perilaku yang sesuai, mampu menyusun dan memodifikasi tujuan yang
realistic dan berusahan untuk mencapai tujuan tersebut.
- Mampu menghadapi dan mengatasi
stress dan kecemasan.
- Memiliki gambaran diri (self
image) yang positif: menyadari kekuatan dan kelemahan yang dimiliki,
mengharagai kekuatan yang dimiliki dan menerima kelemahan dengan cara yang
positif.
- Mampu mengekspresikan perasaan
secara terkendali. Orang yang sehat secara emosional mampu merasakan dan
mengekspresikan nuansa emosi dan perasaan sehingga memungkinkan untuk membangun
dan memilihara hubungan interpersonal yang penuh makna.
- Memiliki hubungan interpersonal
yang baik: mampu membina keakraban dalam hubungan sosialnya, nyaman
berinteraksi dengan lingkungan menghargai dan dihargai orang lain.
Konflik dan frustrasi yang bersumber
dari faktor internal dan eksternal menjadi sumber stress (Coleman, 1950). Shoben (dalam Korchin, 1976)
menyebutkan istilah penyesuaian integrative (integrative adjustment),
yang ditanda oleh pengendalian diri, tanggungjawab pribadi dan sosial, minat
sosial yang demokratik, dan ide-ide ideal.
Pertumbuhan
personal
Gender
tentunya dapat membuat stereotip tersendiri bagi pria dan perempuan. Stereotip
inilah yang akan menjadi identitas dari individu itu dalam berhubungan dengan
sesamanya. Sosialisasi peran gender oleh orang tua sejak masa kanak-kanak akan
membuat seseorang mengkategorisasikan dirinya sebagai perempuan atau pria
dengan hal-hal yang dianggap sesuai dengan peran gendernya. Dengan demikian ada
pembatasan dalam hal peran yang dinilai cocok untuk pria dan perempuan.
Stereotip perempuan berbeda dengan stereotip pria. Stereotip pria anatara lain
: memiliki kemampuan memimpin, kompetitif, aktif, dominan, maskulin, analitis
dan independen. Stereotip perempuan mengutamakan perasaan, hangat, mencintai
anak-anak, malu, pengertin, lembut, loyal dan simpatik. Stereotip jenis kelamin
ini member nilai tinggi pada pria untuk sifat-sifat yang berhubungan dengan
kecakapan seperti kepemimpinan, obyektifitas dan kemandirian sedangkan
perempuan untuk sifat-sifat yang berhubungan dengan kehangatan dan kelembutan.
Daftar
pustaka :
-
Skripsi salah satu
mahasiswa UI tahun 2004 ; Memperkenalkan Psikoanalisa
Sears, D. O., Freedman, J. L. &
Peplau, L. A. 1994. Psikologi Sosial.
Erlangga : Jakarta.
Kartono, K. 2000. Hygine Mental. Mandar Maju: Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar